pilkadalampung
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

ALZIER, SJACHROEDIN, SENGKETA GUBERNUR

Go down

ALZIER, SJACHROEDIN, SENGKETA GUBERNUR Empty ALZIER, SJACHROEDIN, SENGKETA GUBERNUR

Post  ulun Wed Jan 16, 2008 5:17 pm

Sebuah memo tentang penyelesaian kasus Lampung, melayang ke kantor Menko Polhukam pada 7 Juli 2006. Sekilas, memo bernomor 122/Dep III/Polhukam/7/2006 dari Deputi III/Hukum dan HAM Polhukam yang ditujukan kepada Menko Polhukam itu, menguntungkan Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus. Apakah memo ini nanti berujung pada terbitnya Keppres baru yang mendefinitifkan pasangan yang diusung Golkar itu? Belum tentu.


Sebab, keakuratan memo ini pun masih tanda tanya. Selain terjadi sejumlah kesalahan ketik, siapa sebenarnya yang menandatangani pun tak terlihat jelas namanya. Meskipun, posisi penandatangan memo itu tertulis sebagai Deputi III/Hukum dan HAM Polhukam. Padahal, Deputi III Menko Polhukam adalah bidang Pertahanan Negara (Hanneg). Juga soal kop surat, yang terlihat samar-samar.


Yang jelas, tersurat dari memo itu, salah satu alternatif penyelesaian kasus Lampung adalah mencabut Keppres No.71 tahun 2004 tentang pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung periode 2004-2009. Notabene, pada periode itu diduduki pasangan Sjahroeddin ZP dan Samsurya Ryacudu.


Ada beberapa alasan hukum tentang pencabutan Keppres No.71 tahun 2004 itu. Pertama, Keppres itu didasarkan pada Surat Mendagri No.121.27/1278/SJ tanggal 28 Mei 2004 tentang usul pengesahan dan pengangkatan Sjahroeddin ZP dan Samsurya Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur masa jabatan 2004-2005 (harusnya 2004-2009).


Kedua, surat Mendagri itu dibuat berdasarkan Keputusan DPRD Lampung No.47 tahun 2004, tanggal 28 Mei 2004 tentang penetapan pasangan calon terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung periode 2004-2009. Keputusan DPRD Lampung itu sendiri didasarkan atas hasil pemilihan ulang Gubernur dan Wakil Gubernur. Pemilihan ulang ini dilakukan berdasarkan surat Mendagri No.121.27-598 tahun 2003 tanggal 1 Desember 2003.


Ketiga, berdasarkan Keputusan MA No.437/TUN/2004, SK Mendagri No.121.27-598 dan surat Mendagri No.121.27/2928/SJ tanggal 1 Desember 2003, dinyatakan tidak sah dan dibatalkan karena Mendagri telah melampaui kewenangannya karena membuat SK yang membatalkan Keputusan DPRD Lampung No.01 tahun 2003 tanggal 4 Januari 2003 yang menetapkan pasangan terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur.


Padahal, menurut pertimbangan MA, ditinjau dari proses penerbitan obyek sengketa a quo berdasar pasal 40 butir C UU No.22/1999 yang dijabarkan dalam PP No.131/2000, presidenlah yang berwenang mengesahkan pasangan terpilih itu. Sedangkan Mendagri hanya menerima Keputusan DPRD dan mengusulkan pengesahan kepada presiden.


Dengan kata lain, Keputusan DPRD Lampung No.01 tahun 2003 masih berlaku. Oleh karena itu, pemilihan ulang berdasar surat Mendagri No.121.27/2928/SJ tanggal 1 Desember 2003 itu tidak sah karena didasarkan pada sesuatu yang tidak sah. Oleh karena itu pula, Keputusan DPRD Lampung No.47 tahun 2004 tanggal 28 Mei 2004 tentang penetapan pasangan calon terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung periode 2004-2009, tidak sah.


Demikian pula surat Mendagri No.121.27/1278/SJ tanggal 28 Mei 2004 tentang usul pengesahan dan pengangkatan Sjahroeddin ZP dan Samsurya Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2004-2005 (harusnya 2004-2009) menjadi tidak benar dan tidak sah. Sebab, itu didasarkan pada pemilihan yang tidak sah serta hasil pemilihan yang tidak sah serta surat Mendagri no.121.27/1278/SJ tanggal 28 Mei 2004 yang juga tidak sah.


Berdasarkan itu, menurut memo itu, tahap pertama Mendagri membuat surat kepada presiden meminta pengesahan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung terpilih, meneruskan Keputusan DPRD Lampung No.01 tahun 2003. Tahap kedua, presiden mengeluarkan keputusan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berdasarkan Keputusan DPRD Lampung No.01 tahun 2003, sekaligus mencabut Keppres 71 tahun 2004.


Risiko yang dihadapi, dari aspek hukum, kemungkinan gugatan atas Keppres tersebut, yang berdasarkan hal-hal tadi, akan dapat dipatahkan. Dari aspek politik, akan menimbulkan reaksi dari PDIP. Reaksi ini perlu dikelola dengan baik, masih menurut memo itu, sehingga tidak berlarut-larut. Sedangkan dari aspek keamanan, berdasarkan pantauan situasi keamanan dan situasi psikologis politis pada masyarakat Lampung, isu ini tidak membuat suatu pertentangan horizontal di masyarakat.


Berusaha dikonfirmasi soal memo ini, Deputi bidang Hanneg Kantor Menko Polhukam, Romulo Robert Simbolon tak bisa ditemui karena sedang rapat. Sedangkan Deputi bidang Informasi dan Komunikasi Kantor Menko Polhukam, Alex Bambang Riatmojo, mengaku belum tahu adanya memo itu.


“Saya belum tahu itu. Kalau permasalahan Lampung, tanyakan ke Depdagri,” katanya kepada Investigasi, Kamis (27/7). Alex pun enggan menjelaskan lebih jauh tentang perkembangan terakhir persoalan Lampung itu. “Sudahlah, ke Mendagri saja,” ujarnya singkat.


Jawaban dari Depdagri pun tidak tegas. Direktur Pejabat Negara Dirjen Otda Depdagri Susilo juga mengaku belum mengetahui adanya memo itu. “Belum tahu saya. Harusnya tanyakan ke Menko Polhuka,” katanya.


Mengenai upaya Depdagri mengajukan PK ke MA mengingat di tingkat kasasi kalah dalam kasus Alzier, Susilo menyatakan, “PK apa. Ga ada itu.” Susilo pun buru-buru menandaskan, “Langsung ke Mendagri saja lah soal ini.”


Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi sama sekali tak bersedia mengomentari perkembangan kasus ini. “Ke pemerintah pusat sajalah,” ujarnya singkat dengan alasan sedang berkonsultasi dengan dokter, ketika dihubungi Investigasi.



Sementara itu, kandidat doktor hukum program pasca sarjana UI, Wahyu Sasongko berpendapat, memo itu belum bisa dijadikan pegangan. Memo itu baru bahan mentah untuk info lebih lanjut. Dosen Universitas Lampung ini menilai bahwa pembuat memo terlihat tak membaca putusan MA secara lengkap. “Putusan MA kan hanya membatalkan SK Gubernur, tidak memerintahkan pencabutan Keppres Nomor 71 tahun 2004 itu,” katanya.


Sasongko berpendapat, kalau Keppres itu mau dicabut, mestinya penggugat melakukan gugatan baru khusus untuk Keppres itu. Sehingga, kalau dikaitkan dengan asas hukum peradilan, logika itu juga tidak kena. Sebab, dalam prinsip hukum, hakim memutus sesuai yang diminta. Dalam hal ini muncul putusan MA bahwa SK Mendagri tidak sah. Itu saja. Di situ tidak menyinggung soal pencabutan Keppres,” ujarnya.


Pada perkembangannya, setelah putusan MA keluar, keluar pula keputusan DPRD yang tidak merestui Sjahroeddin ZP. Salah satu fakta yang ada, Sjahroeddin ZP diduga melanggar pasal 28 a UU 32/1999 karena menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Retribusi. Soal retribusi ini, seharusnya dia meminta persetujuan DPRD yang produknya berupa Perda. “Ini mengindikasikan Sjahroeddin ZP sudah melanggar larangan,” ujar Sasongko.


Fakta bahwa Sjahroeddin ZP melanggar pasal 28 a ini, masih menurut Sasongko, ditemukan oleh tim terpadu yang terdiri 11 orang dari Depdagri, Hukum dan HAM, dua akademisi dari UGM dan UI, serta dari Kementrian Polhukam. “Ini terkuak dalam dialog saat mereka ke Lampung,” tandasnya.


Kalau, baik Alzier maupun Sjahroeddin ZP kans-nya kecil, lantas siapa yang berpeluang menggunakan kuda troya untuk menormalkan wilayah Lampung ini? Sasongko mengatakan, “Solusinya, orang baru yang credible dan acceptable.”


Kriteria orang seperti itu, kata Sasongko, adalah Wakil Gubernur Samsurya Ryacudu. Alasannya, meski dalam proses pemilihan satu paket dengan Sjahroeddin ZP, namun dalam perjalanan, Samsurya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan yang diambil oleh Sjahroeddin ZP. Termasuk dalam kasus retribusi tadi. “Artinya, kalau Sjahroeddin ZP turun, dia bisa naik.”


Mengapa bukan Alzier seperti yang tersurat dalam memo? Sasongko menegaskan, kalau melihat kondisi bahwa Alzier menggebu untuk dilantik, logikanya Sjahroeddin ZP harus turun. Lalu, Alzier pernah menyatakan, putusan MA menandai sudah berakhirnya masalah hukum yang ada. Ditambah, Alzier pernah menyatakan akan mengambil langkah dalam ranah politik. “Ini tidak mungkin karena politik dan hukum tidak bisa dipisahkan,” katanya.


Apakah tak ada lagi nama selain Samsurya Ryacudu, misalnya Sekda Pemprov Lampung Rachmad Abdullah, Sasongko mengatakan, dalam mekanisme yuridis, peluang caretaker atau pelaksana tugas Gubernur bisa saja. Namun, tentu saja kalau kondisinya, posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, kosong.


“Kalau Keppres No.71 tahun 2004 dicabut, bisa saja caretaker atau Plt mengisi kekosongan itu. Fakta yang terungkap, ada dugaan, Sjahroeddin ZP melanggar larangan tadi,” jelasnya. dion bambang arinto



Sama-sama Berbopeng



Kisruh di Provinsi Lampung, tak kunjung tuntas. Kubu Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus masih semangat untuk meraih kembali apa yang pernah dicapai. Pun Sjahroeddin ZP dan Samsurya Ryacudu, berusaha menyelesaikan kekuasaan mereka. Sayangnya, baik Alzier maupun Sjahroeddin, punya bopeng. Tentu, masyarakat Lampung berharap punya pemimpin ideal. Tanpa cacat.


Soal bopeng tadi, Alzier punya catatan tersendiri. Tuduhan pidana buat lelaki kelahiran Jogjakarta, 8 November 1957 itu berlapis-lapis. Mulai dugaan penggelapan 500 ton pupuk urea, penadah mobil curian merek Daihatsu Espass, sampai penggunaan gelar sarjana ilegal. Mabes Polri sempat membuat surat panggilan pada 10 Februari 2003 silam. Dengan alasan sakit lambung, Alzier tidak memenuhi panggilan itu.


Dengan alasan bersembunyi dan tidak mau datang memenuhi panggilan polisi, mantan ketua DPC PDIP Lampung Selatan yang menyeberang ke Golkar ini, sempat dibawa paksa ke Mabes Polri. Peristiwa ini cukup dramatis. Semula diperiksa di Mapolda Lampung, Alzier diseret ke helikopter lalu diterbangkan ke Jakarta. Tetapi belakangan, seluruh tuduhan itu tidak terbukti.


Puncaknya, keluar SK Mendagri No 161.27./598/2003, tanggal 1 Desember 2003 yang membatalkan hasil pilgub yang dimenangi Alzier-Ansyori. Alzier pun berjuang. Dua SK Mendagri yaitu SK No. 161.27-598 tentang Pembatalan Keputusan DPRD yang mengangkat Alzier sebagai Gubernur Lampung masa jabatan 2003-2008, dan SK Mendagri No. 121.2711.989/SJ tentang pemilihan ulang Gubernur Lampung, dia gugat.


Hasilnya, pada 13 Mei 2005, PTUN Jakarta Pusat menyatakan kedua SK itu tidak sah. Mendagri pun banding ke PTUN Tinggi Jakarta. Lagi-lagi, di tingkat banding Alzier menang. Mendagri lalu menempuh kasasi ke MA. Sekali lagi, Alzier di atas angin karena kasasi itu ditolak MA. Terakhir, muncul memo bernomor 122/Dep III/Polhukam/7/2006 dari Deputi III/Hukum dan HAM kepada Menko Polhukam.


Sejumlah kasus lain sebenarnya masih ada. Tetapi tidak sampai ke meja hijau. Misalnya, dugaan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan Alzier pribadi. Ini mengingat, Alzier aktif di Kadin dan Puskud.


Tak kalah dengan Sjahroeddin. Intinya, terjadi problem hukum dan anggaran, selama dia berada di tampuk kekuasaan. Misalnya, soal tak disetujuinya APBD Perubahan 2005 sebesar Rp 900 miliar, yang berakibat pada tidak berjalannya program pemda setempat. Juga APBD 2006 sebesar Rp 1,3 triliun yang dimintakan pengesahan ke DPRD, tetapi karena tak memenuhi kuorum, ya berakibat fatal. Intinya, APBD itu tak direstui DPRD. Salah satu akibatnya, kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat akhirnya tak optimal.


Pembangunan infrastruktur pun jalan di tempat. Provinsi Lampung yang terdiri atas delapan kabupaten dan dua kota, tentu perlu pembangunan jalan baru atau setidaknya pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada. Tetapi ini tak bisa dilakukan dengan baik. Mana mungkin memperbaiki jalan rusak, kalau tidak bisa didanai mengingat APBD tak bisa dicairkan?


Kasus lain, hasil temuan Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik). LSM ini menemukan indikasi korupsi dalam realisasi Pos Bantuan Keuangan APBD tahun 2005. Contoh, bantuan pembinaan ormas sebesar Rp124 miliar. Tapi sejumlah ormas tak merasa menikmati bantuan itu.


Lalu bantuan bagi LBH sebesar Rp 1 miliar. Tak jelas LBH mana penerima bantuan itu. Pun pos bantuan peningkatan administrasi dan SDM pengelola kabupaten dan kota sebesar Rp 500 juta. Tak jelas pemda mana yang mendapatkan bantuan itu.


Tak kurang, dana bantuan bagi sekolah dan PTS sebesar Rp 660 juta. Yang seharusnya didistribusikan Diknas, pelaksanaannya justru oleh Biro Keuangan. Lalu dana bantuan Rp 3,8 miliar untuk yayasan-yayasan sosial. Pada pos ini, tak jelas keberadaan, alamat dan badan hukum yayasan-yasasan itu. Tak jelas pula kegiatan, bukti serta laporan pertanggungjawabannya


Selain itu, bantuan untuk guru dan siswa. Tak jelas, siapa siswa dan guru penerima bantuan sebesar Rp 7,96 miliar itu. Duplikasi pun terjadi. Misalnya, dana pendidikan yang sudah anggarkan pemerintah pusat, tetapi tetap ada biaya dari orangtua siswa lewat komite sekolah serta APBD Kabupaten dan kota.

Dengan kondisi kepemimpinan kedua tokoh semacam itu, masyarakat Lampung tentu bisa menilai. Lalu solusi terbaiknya seperti apa, masyarakat di sanalah yang memegang kendali. Tentu, secara politis setelah melalui kajian mendalam oleh pihak yang berwenang.

(nyomot dari http://senyumcalm.blog.com/Dokumen+Naskah+Gw/)

Jadi? Gw pengen bro2 n sis mengomentari kasus "unik" ini. Siapa sich yang bener? Apa salah semua? lol!
ulun
ulun

Jumlah posting : 1
Join date : 15.01.08

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik